Jumat, 23 Desember 2011

METODE TAFSIR TAHLILI

A. PENDAHULUAN
Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril as dalam bahasa Arab dengan segala macam kekayaan bahasanya. Di dalamnya terdapat penjelasan mengenai dasar-dasar aqidah, kaidah-kaidah syariat, asas-asas perilaku, menuntun manusia ke jalan yang paling lurus dalam pemikiran dan amal. Namun, ALLAH SWT tidak menjamin perincian-perincian dalam masalah-masalah itu sehingga banyak lafal Al-Qur’an yang membutuhkan tafsir, apalagi sering digunakan susunan kalimat yang singkat namun luas pengertiannya. Dalam lafazh yang sedikit saja dapat terhimpun sekian banyak makna. Untuk itulah diperlukan penjelasan yang berupa tafsir Al-Qur’an.
Mempelajari tafsir Al-Qur’an merupakan suatu yang urgen untuk mengetahui maksud ALLAH SWT (dalam Al-Qur’an) tentu saja dengan batas kemampuan yang dimiliki menyangkut perintah dan larangan yang telah disyari’atkan kepada hamba-hamba-Nya, agar menjalani kehidupan dunia yang lurus dan dapat mempersiapkan bekal yang cukup untuk akhirat. Juga untuk menyentuh petunjuk ALLAH SWT, yang menyangkut akidah, ibadah, dan akhlak dengan harapan memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Mengingat Al-Qur’an bagaikan lautan yang keajaiban-keajaibannya tidak pernah habis dan kecintaan kepadanya tidak pernah lapuk dari zaman, adalah sesuatu yang dapat dipahami jika terdapat ragam metode untuk menafsirkannya. Kitab-kitab tafsir yang ada sekarang merupakan indikasi kuat yang memperlihatkan perhatian para ulama untuk menjelaskan ungkapan-ungkapan Al-Qur’an dan menerjemah misi-misinya.
Studi atas hasil karya penafsiran para ulama sekarang ini, secara umum, menunjukkan bahwa mereka menggunakan metode-metode penafsiran yang diantaranya adalah metode tahlili, ijmali, muqaran, dan metode maudhu’i atas seizin ALLAH SWT, penulis akan menjelaskan metode tafsir tahlili mengingat pentingnya metode ini untuk diketahui oleh siapa saja yang hendak menafsirkan Al-Qur’an.


Metode Tahlili (Analitis)
Yang dimaksud dengan metode analisis ialah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut27. Jadi, ”pendekatan analitis” yaitu mufassir membahas al-Qur’an ayat demi ayat, sesuai dengan rangkaian ayat yang tersusun di dalam al-Qur’an. Maka, tafsir yang memakai pendekatan ini mengikuti naskah al-Qur’an dan menjelaskannya dengan cara sedikit demi sedikit, dengan menggunakan alat-alat penafsiran yang ia yakini efektif [seperti mengandalkan pada arti-arti harfiah, hadis atau ayat-ayat lain yang mempunyai beberapa kata atau pengertian yang sama dengan ayat yang sedang dikaji], sebatas kemampuannya di dalam membantu menerangkan makna bagian yang sedang ditafsirkan, sambil memperhatikan konteks naskah tersebut28.
Metode tahlili, adalah metode yang berusaha untuk menerangkan arti ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai seginya, berdasarkan urutan-urutan ayat atau surah dalam mushaf, dengan menonjolkan kandungan lafadz-lafadznya, hubungan ayat-ayatnya, hubungan surah-surahnya, sebab-sebab turunnya, hadis-hadis yang berhubungan dengannya, pendapat-pendapat para mufassir terdahulu dan mufassir itu sendiri diwarnai oleh latar belakang pendidikan dan keahliannya.

CIRI-CIRI METODE TAHLILI.
 Penafsiran yang mengikuti metode ini dapat mengambil bentuk ma’tsur [riwayat] atau ra’y [pemikiran]:
 [a] Di antara kitab tafsir tahlili yang mengambil bentuk al-ma’tsur adalah kitab tafsir Jami’ al-Bayan’an Ta’wil Ayi al-Qur’an karangan Ibn Jarir al-Thabari [w.310H], Ma’alim al-Tazil karangan al-Baghawi [w.516H], Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [terkenal dengan tafsir Ibn Katsir] karangan Ibn Katsir [w.774H], dan al-Durr al-Mantsur fi al-tafsir bi al-Ma’tsur karangan al-Suyuthi [w.911H].
 [b] Tafsir tahlili yang mengambil bentuk al-Ra’y banyak sekali, antara lain: Tafsir al-Khazin karangan al-Khazin [w.741H], Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil karangan al-Baydhawi [w.691H], al-Kasysyaf karangan al-Zamakhsyari [w.538H], ’Arais al-Bayan fi Haqaia al-Qur’an karangan al-Syirazi [w.606H], al-Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib karangan al-Fakhr al-Razi [w.606H], tafsir al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an karangan Thanthawi Jauhari, Tafsir al-Manar karangan Muhammad Rasyid Ridha [w.1935] dan lain-lain.
Jadi, pola penafsiran yang diterapkan oleh para pengarang kitab-kitab tafsir yang dinukilkan di atas terlihat jelas, bahwa mereka berusaha menjelaskan makna yang terkandung di dalam ayat-ayat al-Qur’an secara komprehensif dan menyeluruh, baik yang berbentuk al-ma’tsur maupun al-ra’y29. Maka untuk lebih mudah mengenal metode tafsir analitis, berikut ini dikemukakan beberapa corak tafsir yang tercakup dalam tafsir tahlil, sebagai contoh, yaitu:
Tafsir al-Ma’tsur, yaitu cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan nash-nash, baik dengan ayat-ayat al-Qur’an sendiri, dengan hadis-hadis Nabi, dengan pendapat sahabat, maupun dengan pendapat tabiin. Pendapat [aqwal] tabiin masih kontraversi dimasukkan dalam tafsir bil ma’tsur sebab para tabiin dalam memberikan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an tidak hanya berdasarkan riwayat yang mereka kutip dari Nabi, tetapi juga memasukkan ide-ide dan pemikiran mereka [melakukan ijtihad]. Tafsir ma’tsur yang paling tinggi peringkatnya adalah tafsir yang berdasarkan ayat al-Qur’an yang ditunjuk oleh Rasulullah. Peringkat kedua adalah tafsir dengan hadis. Di bawahnya adalah tafsir ayat dengan aqwal [pendapat] sahabat dan peringkat terakhir adalah tafsir ayat dengan aqwal tabiin30.
Tafsir al-Ra’y, yaitu tafsir ayat-ayat al-Qur’an yang didasarkan pada ijtihad mufasirnya dan menjadikan akal fikiran sebagai pendekatan utamanya. ”tafsir i al-ra’y yang menggunakan metode analitis ini, para mufassir memperoleh kebebasan, sehingga mereka agak lebih otonom [mandiri] berkreasi dalam memberikan interpretasi terhadap ayat-ayat al-Qur’an selama masih dalam batas-batas yang diizinkan oleh syara dan kaidah-kaidah penafsiran yang mu’tabar”. Itulah salah satu sebab yang membuat tafsir dalam bentuk al-ra’y dengan metode analitis dapat melahirkan corak penafsiran yang beragam sekali seperti tafsir fiqih, falsafi, sufi, ’ilmi, adabi ijtima’i, dan lain sebagainya31. Kebebasan serupa itu sulit sekali diterapkan di dalam tafsir yang memakai metode global [ijmali] sekalipun bentuknya al-ra’y. Dikarenakan adanya kebebasan serupa itulah, maka tafsir bi al-ra’y berkembang jauh lebih pesat meninggalkan tafsir bi al-ma’tsur, sebagaimana diakui oleh ulama tafsir semisal Manna’ al-Qhathathan.
Tetapi menurut Adz-Dzahaby, para ulama telah menetapkan syarat-syarat diterimanya tafsir ra’y yaitu, bahwa penafsirnya: [1] benar-benar menguasai bahasa Arab dengan segala seluk beluknya, [2] mengetahui asbabun nuzul, nasikh-mansukh, ilmu qiraat dan syarat-syarat keilmuan lain, [3] tidak menginterpretasikan hal-hal yang merupakan otoritas Tuhan untuk mengetahuinya, [4] tidak menafsirkan ayat-ayat berdasarkan hawa nafsu dan intres pribadi, [5] tidak menafsirkan ayat berdasarkan aliran atau paham yang jelas batil dengan maksud justifikasi terhadap paham tersebut, [6] tidak menganggap bahwa tafsirnya yang paling benar dan yang dikehendaki oleh Tuhan tanpa argumentasi yang pasti33. Maka, sebagaimana metode tafsir yang lain, metode tahlili [analitis] juga memiliki kelemahan dan kelebihan, diantarnya:

1. Kelebihan:
Kelebihan metode ini antara lain: [1] Ruang lingkup yang luas: Metode analisis mempunyai ruang lingkup yang termasuk luas. Metode ini dapat digunakan oleh mufassir dalam dua bentuknya; ma’tsur dan ra’y dapat dikembangkan dalam berbagai penafsiran sesuai dengan keahlian masing-masing mufassir. Sebagai contoh: ahli bahasa, misalnya, mendapat peluang yang luas untuk manfsirkan al-Qur’an dari pemahaman kebahasaan, seperti Tafsir al-Nasafi, karangan Abu al-Su’ud, ahli qiraat seperti Abu Hayyan, menjadikan qiraat sebagai titik tolak dalam penafsirannya. Demikian pula ahli fisafat, kitab tafsir yang dominasi oleh pemikiran-pemikiran filosofis seperti Kitab Tafsir al-Fakhr al-Razi. Mereka yang cenderung dengan sains dan teknologi menafsirkan al-Qur’an dari sudut teori-teori ilmiah atau sains seperti Kitab Tafsir al-Jawahir karangan al-Tanthawi al-Jauhari, dan seterusnya. [2] Memuat berbagai ide: metode analitis relatif memberikan kesempatan yang luas kepada mufassir untuk mencurahkan ide-ide dan gagasannya dalam menafsirkan al-Qur’an. Itu berarti, pola penafsiran metode ini dapat menampung berbagai ide yang terpendam dalam bentuk mufassir termasuk yang ekstrim dapat ditampungnya. Dengan terbukanya pintu selebar-lebarnya bagi mufassir untuk mengemukakan pemikiran-pemikirannya dalam menafsirkan al-Qur’an, maka lahirlah kitab tafsir berjilid-jilid seperti kitab Tafsir al-Thabari [15 jilid], Tafsir Ruh al-Ma’ani [16 jilid], Tafsir al-Fakhr al-Razi [17 jilid], Tafsir al-Maraghi [10 jilid], dan lain-lain.

2. Kelemahan:
Kelemahan dari metode tafsir analitis adalah:
 [1] Menjadikan petunjuk al-Qur’an parsial: metode analitis juga dapat membuat petunjuk al-Qur’an bersifat parsial atau terpecah-pecah, sehingga terasa seakan-akan al-Qur’an memberikan pedoman secara tidak utuh dan tidak konsisten karena penafsiran yang diberikan pada suatu ayat berbeda dari penafsiran yang diberikan pada ayat-ayat lain yang sama dengannya. Terjadinya perbedaan, karena kurang memperhatikan ayat-ayat lain yang mirip atau sama dengannya. Ayat [ٍدِحاَو ِسْفَن], misalnya, Ibn Katsir menafsirkan dengan Adam a.s. Konsekuensinya, ketika dia menafsirkan lanjutan ayat itu
[اَهَجْوَز اَهْنِم َقَلَخَو] ia menulis: ”yaitu Siti Hawa..... diciptakan dari tulang rusuk Adam yang kiri. Berarti, ungkapan [ٍدِحاَو ِسْفَن] di dalam ayat itu menurut Ibn Katsir tidak lain maksudnya dari Adam34.
 [2] Melahirkan penafsir subyektif: Metode analitis ini memberi peluang yang luas kepada mufassir untuk mengumukakan ide-ide dan pemikirannya. Sehingga, kadang-kadang mufassir tidak sadar bahwa dia tidak menafsirkan al-Qur’an secara subyektif, dan tidak mustahil pula ada di antara mereka yang menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan kemauan bahwa nafsunya tanpa mengindahkan kaidah-kaidah atau norma-norma yang berlaku.
 [3] Masuk pemikiran Israiliat: Metode tahlili tidak membatasi mufassir dalam mengemukakan pemikiran-pemikiran tafsirnya, maka berbagai pemikiran dapat masuk ke dalamnya, tidak tercuali pemikiran Israiliat. Sepintas lalu, kisah-kisah Israiliat tidak ada persoalan, selama tidak dikaitkan dengan pemahaman al-Qur’an. Tetapi bila dihubungkan dengan pemahaman kitab suci, timbul problem karena akan terbentuk opini bahwa apa yang dikisahkan di dalam cerita itu merupakan maksud dari firman Allah, atau petunjuk Allah, padahal belum tentu cocok dengan yang dimaksud Allah di dalam firman-Nya tersebut. Di sini letak negatifnya kisah-kisah Israiliat. Kisa-kisa itu dapat masuk ke dalam tafsir tahlili karena metodenya memang membuka pintu untuk itu. Sebagi contoh, seperti dalam penafsiran al-Qurthubi tentang penciptaan manusia pertama, termaktub di dalam ayat 30 surah al-Baqarah [ةَفيِلَخ ِضْرَلأٱ ِىف ِىف ٌلِعاَج ىِّنِإ] sebagai dikatakannya: ”Allah menciptakan Adam dengan tangan-Nya sendiri langsung dari tanah selama 40 hari. Setalah kerangka itu siap lewatlah para malaikat di depannya. Mereka terperanjat
karena amat kagum melihat indahnya ciptaan Allah itu dan yang paling kagum ialah iblis, lalu dipukul-pukulnya kerangka Adam tersebut, lantas terdengar bunyi seperti peiuk belanga dipukul: seraya ia berucap: ”Untuk apa kau diciptakan [ْتَقَلَخ اَم ِرْمَِأل ِأل ]35.
Maka, apabila dicermati penafsiran al-Qurthubi itu, ada benarnya penilaian yang diberikan kepada al-Khathib bahwa penafsiran tersebut masuk dalam kelompok tafsir Israiliat.


b. Macam-Macam Metode tahlili
Dalam mengkaji Al-Qur’an juga dikenal beberapa macam metode tafsir salah satunya adalah Metode Tafsir Tahlili. Para ulama membagi wujud tafsir Al-Qur’an dengan metode tahlili kepada tujuh macam, yaitu: tafsir bi-al ma’tsur, tafsir bi al-ra’yi, tafsir shufi, tafsir falsafi, tafsir fiqhi, tafsir ilmi dan tafsir adabi.
Dibawah ini dijelaskan secara ringkas ketujuh macam metode tahlili tersebut dalam menafsirkan ayat-ayat suci Al-Qur’an.
Tafsir bi al-Ma’tsur (Riwayat)
Dinamai dengan nama ini (dari kata atsar yang berarti sunnah, hadits, jejak, peninggalan) karena dalam melakukan penafsiran seorang mufassir menelusuri jejak atau peninggalan masa lalu dari generasi sebelumnya terus sampai kepada Nabi SAW. Tafsir bi al-Matsur adalah penjelasan Al-Qur’an sendiri, dari Rasulullah SAW yang disampaikan kepada para sahabat, dari para sahabat berdasarkan ijtihadnya, dan dari para tabi’in juga berdasarkan ijtihadnya.
Adapun pengertian yang lainnya adalah tafsir yang berdasarkan pada kutipan-kutipan yang shahih yaitu menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, Al-Qur’an dengan sunnah karena ia berfungsi sebagai penjelas Kitabullah, dengan perkataan sahabat karena merekalah yang dianggap paling mengetahui kitabullah, atau dengan perkataan tokoh-tokoh besar tabi’in karena mereka pada umumnya menerimanya dari para sahabat.
Tafsir bi Al-Ma’tsur melalui dua fase[3] : Pertama, fase periwayatan dengan lisan (syahiyyah). Pada fase ini para sahabat menuqil riwayat penafsiran dari Nabi dan menyampaikannya kepada sahabat lainnya. Para tabi’in menukil riwayat dari para sahabat dengan metode penukilan berupa sanad yang teliti dan saksama. Fase ini berakhir dengan datangnya fase kedua.
Fase kedua, pengodifikasian. Pada fase ini riwayat-riwayat penafsiran yang disebarkan pada fase pertama mulai dibukukan. Pada mulanya riwayat-riwayat penafsiran sejak itu ditulislah kitab-kitab tafsir yang memuat tafsir bi Al-Ma’tsur disertakan bersama tafsir tersebut sanad sampai kepada rasulullah SAW, sahabat, tabi’in. Setelah itu, datanglah sekelompok mufasir yang mengodifikasikan tafsir bi Al-Ma’tsur tanpa menyertakan sanadnya sehigga tidak jelas mana riwayat yang sahih dan mana yang ternoda. Dampaknya, pembaca merasa ragu sebab boleh jadi riwayat itu hanya dibuat-buat saja dan memang dalam kitab tafsir banyak ditemukan riwayat-riwayat palsu itu. Namun, penelaah serius yang dilakukan para ulama dapat menyingkap kepalsuan riwayat-riwayat itu.
Tafsir-tafsir bil al-Ma’tsur yang terkenal antara lain: Ad-Durr Mantsur fi Tafsiri bil Al-Ma’tsur (karya Jalaluddin As Sayuthi), Jami Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an (karya Ath-Thabari), Ma’alim At-Tanzil (karya Al-Baghawi), dan Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim (karya Ibn Katsir).
Tafsir bi Ar-Ra’yi (Pemikiran)
Tafsir bi ar-ra’yi adalah menafsirkan al-Qur’an dengan cara ijtihad setelah mufasir bersangkutan mengetahui metode bantuan yang digunakan seperti syi’ir Jahiliyyah, asbab an-nuzul, nasikh-mansukh, dan lainnya.
Munculnya corak tafsir ini seiring dengan perkembangan ilmu-ilmu keislaman yang diwarnai kemunculan ragam disiplin ilmu, karya-karya para ulama, aneka warna metode penafsiran, dan pakar-pakar di bidangnya masing-masing. Dengan bantuan ilmu-ilmu bahasa Arab, ilmu qiraah, ilmu-ilmu Al-Qur’an, hadits dan ilmu hadits, ushul fikih dan ilmu-ilmu lain, seorang mufassir akan menggunakan kemampuan ijtihadnya untuk menerangkan maksud ayat dan mengembangkannya sesuai bidang kemampuan masing-masing dengan bantuan perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan yang ada.
Beberapa tafsir bir ra’yi yang terkenal antara lain: Tafsir Al Jalalain (karya Jalaluddin Muhammad Al Mahally dan disempurnakan oleh Jalaluddin Abdur Rahman As Sayuthi), Anwar At-Tanzil wa Asrar At-ta’wil (karya Al-Baidhawi), Mafatih Al-Ghaib (karya Fakhr Razi), Madarik At-Tanzil wa Haqa’iq At-Ta’wil (karya An-Nasafi), Lubab At-Ta’wil fi Ma’ani At-tanzil (karya Al Khazin).
Berikut ini sebuah contoh ayat al-Qur’an yang penafsirannya menggunakan metode analitis yang ada dalam bukunya DR. Nasruddin Baidan dengan menggunakan corak bi al-Ma’tsur dan bi al-Ra’yi. Pada surah Al-BAqarah ayat 115.
Artinya; Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah Sesungguhnya Allah Maha luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.
Yang dimaksud oleh Allah dengan firmannya ialah, Allah berwenang penuh atas pemilikan dan pengaturan keduanya. Disitulah wajah Allah maksudnya; kekuasaan Allah meliputi seluruh alam, sebab itu dimana saja manusia berada, Allah mengetahui perbuatannya, karena kita selalu berhadapan dengan Allah.
Para pakar ta’wil (tafsir) berbeda pendapat dalam menjelaskan latar belakang penyebutan kedua tempat tersebut secara khusus (Asbab an-Nuzul). Ada yang berkata, dalam kasus ini al-Mutsanni telah menceritakan kepadaku, katanya Abu Shahih telah bercerita kepadanya, kata Abu Shahih : Mu’awiyah bin Shahih telah bercerita kepadanya berasal dari Ali, dari Ibn Abbas katanya : “Ketika Nabi melakukan hijrah ke Madinah, mayoritas penduduknya adalah kaum Yahudi, maka Allah sengaja menyebut kedua tempat itu secara khusus karena kaum Yahudi dalam shalat menghadap ke Baitul Maqdis, dan Rasulullah pernah melakukan hal yang sama selama 10 bulan, kemudian mereka menghadap ke Ka’bah. Dikarenakan kaum Yahudi menyangkal perbuatan Nabi tidak seperti biasanya menghadap kiblat ke Baitul Maqdis kemudian turunlah ayat ini.
Menurut ulama lain ayat ini turun kepada Nabi saw sebagai dispensasi dari Allah tentang kebolehan menghadap kemana saja dalam shalat sunnat ketika sedang dalam perjalanan, ketika perang, ketika ketakutan, atau menemui kesukaran dalam shalat wajib. Dengan demikian, diberitahukan kepada Nabi bahwa kemana saja mereka menghadap maka disitu ada Allah sesuai dengan firmannya tadi.
Maksud ayat tersebut sesuai dengan latar belakang turunnya ayat tersebut (Asbab an-Nuzul) adalah, apabila kamu terhalang melakukan shalat di Masjidil Haram dan Masjid Baitul Maqdis, maka jangan khawatir, sebab seluruh permukaan bumi telah Kujadikan masjid tempat sembahyang di tempat mana saja di muka bumi ini,dan silahkan menghadap ke arah mana saja yang dapat kamu lakukan di tempat itu, tidak terikat pada suatu masjid tertentu dan tidak pula yang lain, demikian pula tidak terikat oleh lokasi manapun. Karena dalam firmannya (Allah Maha lapang dan luas rahmatnya), Ia ingin memberikan kelonggaran kepada hamba-hamba-Nya (lagi Maha tahu) tentang kemaslahatan dan kebutuhan mereka.
Menurut Atha, ayat ini turun ketika tidak diketahui arah kilat shalat oleh suatu kaum (kelompok) lalu mereka shalat ke arah yang berbeda-beda sesuai dengan keyakinan masing-masing, setelah pagi hari mereka ternyata keliru menghadap kiblat, lantas menyampaikan masalah itu kepada rasul maka turunlah ayat ini. Bahwa dalam Penafsiran bi al-ra’yi yang dilakukan oleh al-Zamakhsyari memulai penafsirannya dengan mengemukakan pemikiran yang rasional. Kemudian penafsiran itu di dukungnya dengan firma Allah, setelah itu baru ia mengemukakan riwayat atau pendapat ulama.
Dari contoh diatas dapat disimpulkan dalam tafsir bi al-Ma’tsur dilakukan selama memiliki riwayat, sedangkan bi al-Ra’y tidak sebatas riwayat tetapi lebih kepada pemikiran.
Tafsir shufi
Tafsir shufi sebut juga dengan tafsir Isyari yaitu penafsiran orang-orang sufi terhadap al-Qur’an yang bermula dari anggapan bahwa riyadhah (latihan) rohani yang dilakukan seorang sufi bagi dirinya akan menyampaikan ke suatu tingkatan di mana ia dapat menyingkapkan isyarat-isyarat kudus yang terdapat di balik ungkapan-ungkapan al-Qur’an dan akan tercurah pula ke dalam hatinya dari limpahan ghaib. Salah satu contoh dalam penafsiran dengan metode shufi adalah Surah An-Nisa’ ayat 1
Secara lahir, ayat tersebut berarti “Wahai sekalian manusia bertaqwalah kalian kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari satu diri (jenis)”. Salah satu tokoh tasawuf Ibn ‘Arabi menafsirkan ayat ini dengan penafsiran sebagai berikut: “Bertaqwalah kepada Tuhanmu. Jadikanlah bagian yang zhahir dari dirimu sebagai penjaga bagi Tuhanmu. Dan jadikanlah bagian batinmu yang adalah Tuhanmu itu, sebagai penjaga bagi dirimu. Karena perkaranya adalah perkara celaan dan pujian. Maka jadilah kalian pemelihara-Nya dalam celaan, dan jadikanlah Dia pemelihara kalian dalam pujian, niscaya kalian akan menjadi orang-orang yang paling beradan di seluruh alam”. Penafsiran seperti ini jelas dipengaruhi oleh faham wihdah al-wujud yang memandang alam ini merupakan Dzat Tuhan yang hakiki.
Dalam pendekatan sufistik terdapat dua pendekatan pemahan yang berbeda, yaitu pendekatan sufistik nadzhary dan pendekatan sufistik amali. Secara sederhana pendekatan sufistik nadzhary diartikan sebagai model penafsiran yang menekankan pemaknaan kata dengan melihat makna batin sebuah ayat, atau dapat pula diartikan sebagai usaha penafsiran yang dilakukan oleh para sufi yang melakukan justifikasi al-Qur’an terhadap teori-teori sufistik, seperti konsep tentang Khauf, mahabbah, ma’rifah, hulul dan wihdat al-wujud. Sedangkan pendekatan sufistik amali adalah pendekatan yang dilakukan menggunakan analisis sufistik atau menakwilkan ayat-ayat al-Qur’an dari sudut esotorik atau berdasarkan isyarat tersirat yang tampak oleh seorang sufi dalam suluknya.
Menurut Rosihan Anwar tafsir sufi dapat diterima jika memenuhi syarat-syarat berikut ini:
1. Tidak menafikan makna lahir (pengetahuan tekstual) Al-Qur’an.
2. Penafsiran diperkuat oleh dalil syara’ yang lain.
3. Penafsirannya tidak bertentangan dengan syara’ atau rasio.
4. Penafsiran tidak mengakui bahwa hanya penafsirannya (batin) itulah yang di kehendaki oleh Allah SWT, bukan pengertian tekstualnya. Sebaliknya, ia harus mengakui pengertian tekstual ayat terlebih dahulu.
Adapun kitab-kitab Tasir Shufi adalah Tafasir Al-Qur’an Al-Azhim, karya Imam At-Tusturi ( wafat. 289 H ), Haqa’iq At-Tafsir, Karya Al-Allamah As-Sulami ( Wafat 412 H ), Aris Al-Bayan fi Haqa’iq Al-Quran, Karya Imam Asy-Syirazi ( Wafat 283 H ).
Tafsir Falsafi
Pendekatan tafsir falsafi atau pendekatan filosofis adalah upaya-upaya penafsiran dan pemaknaan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dengan menggunakan pendekatan filosofis. Dalam faktanya, penafsiran ini dilakukan setelah buku-buku filsafat yunani kuno banyak yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Selain itu juga dikarenakan banyak tokoh Islam yang berhasil mempelajari dan mengembangkan teori filsafat Yunani kuno yang dirasakan serasi dan sesuai dengan tuntunan agama, atau usaha-usaha penafsiran ayat tertentu dalam Al-Qur’an dengan menggunakan analisis disiplin Ilmu-Ilmu Filsafat.
Adapun upaya yang ditempuh untuk menafsirkan Al-Qur’an dengan menggunakan pendekatan filosofis adalah : Pertama, dengan mentakwilkan teks-teks keagamaan (Al-Qur’an) dengan menggunakan berbagai pandangan dan teori filsafat.
Paradigma atau asumsi-asumsi dasar mengenai tafsir falsafi adalah sebagai berikut.
a. Ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki banyak kata atau ada kata-kata tertentu dalam Al-Qur’an yang dapat ditafsirkan dan kemungkinan besar sejalan dengan teori-teori filsafat.
b. Ada sebagian orang yang merasa kagum atas teori-teori filsafat dan merasa mampu untuk mengkompromikan antara hikmah dan akidah dan antara filsafat dengan agama.
Pada saat ilmu-ilmu agama dan sain mengalami kemajuan, kebudayaan-kebudayaan Islam berkembang di wilayah-wilayah kekuasaan Islam dan penerjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab digalakkan pada masa khalifah Abbasiyah, diantara buku-buku yang diterjemahkan adalah buku-buku karangan para filosuf seperti Aristoteles dan Plato. Pada perkembangan selanjutnya para ulama tafsir mencoba memahami Al-Qur’an dengan metode filsafat tersebut, maka lahirlah metode falsafi.
Untuk menyikapi hal tersebut, ulama Islam terbagi kepada dua golongan yaitu sebagai berikut
a. Golongan yang menolok filsafat, karena mereka menemukan adanya pertentangan antara filsafat dan agama. Kelompok ini secara radikal menentang filsafat dan berusaha menjauhkan umat darinya. Tokoh pelopor kelompok ini adalah Imam Ghazali, karena itu ia mengarang kitab al-Isyarat dan kitab-kitab lain untuk menolak faham mereka. Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd. Demikian pula Fakhr al-Razi di dalam kitab tafsirnya mengemukakan paham mereka dan membatalkan teori-teori filsafat mereka karena dinilai bertentangan dengan agama dan Al-Qur’an. Dia membeberkan ide-ide filsafat yang dipandang bertentangan, khususnya dengan Al-Qur’an dan akhirnya ia menolok dengan tegas berdasarkan alasan dan dalil yang ia anggap memadai.
b. Golongan yang mengagumi dan menerima filsafat meskinya didalamnya terdapat ide-ide yang bertengan dengan nash-nash syar’i. Kelompok ini berupaya mengkompromikan antara filsafat dan agama serta berusaha untuk menyingkapkan segala pertentangan tersebut, namun usaha mereka belum mencapai titik temu secara final, melainkan masih berupaya memecahkan masalah secara setengah-setengah, sebab penjelasan mereka tentang ayat-ayat al-Qur’an semata-mata berangkat dari sudut pandang teori filsafat yang didalamnya banyak hal tidak mungkin diterapkan dan dipaksakan terhadap nash-nash al-Qur’an.

Kitab-kitab tafsir yang mengunakan pendekatan ini, diantaranya adalah:
1. Kitab tafsir Fakhr al-Razi al-Masyhur bi tafsir mafatih al-Ghaib aw tafsir al-kabir ad-Din al-Razy.
2. Kitab tafsir Anwar at-Tanzih wa Asrar al-Ta’wil karya al-Baidawi.
Dari sisi kelebihan dari tafsir falsafi adalah ayat-ayat al-Qur’an memiliki banyak kata atau ada kata-kata tertentu dalam al-Qur’an yang dapat ditafsirkan dan kemungkinan besar sejalan dengan teori-teori filsafat. Sedangkan dari sisi kekurangannya ada sebagian orang yang merasa kagum dengan teori-teori filsafat dan merasa mampu mengkompromikan antara hikmah dan akidah antara filsafat dan agama.
Tafsir Fiqhi
Tafsir Fiqhi adalah corak tafsir yang lebih menitik beratkan kepada pembahasan masalah-masalah fiqhiyyah dan cabang-cabangnya serta membahas perdebatan/perbedaan pendapat seputar pendapat-pendapat imam madzhab. Tafsir fiqhi ini juga dikenal dengan tafsir Ahkam, yaitu tafsir yang lebih berorientasi kepada ayat-ayat hukum dalam al-Qur,an (ayat-ayat ahkam). Tafsir fiqhi lebih populer dengan sebutan tafsir ayat ahkam atau tafsir ahkam karena lebih berorientasi pada ayat-ayat hukum dalam alqur’an.
Orang yang pertama berhak menyandang predikat mufassir adalah Rasulullah SAW., kemudian para shahabat, diantara mereka yang paling terkenal adalah sepuluh orang yaitu ; empat khulafaurrasyidin, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asy’ari, dan Abdullah ibnu Zubair. Baru setelah ini periode mufassir tabi’in, kemudian periode mufassir tabi’it tabi’in dan orang-orang yang setelahnya, yang pada periode mereka ini dinamakan periode tadwin ( pengodifikasian). Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dengan cabang cabangnya tafsirpun terus berkembang sampai periode mutakhirin.
Di masa Rasulullah para sahabat memahami Al-Qur’an dengan “insting” kearaban mereka. Jika terjadi kesulitan dalam memahami sesuatu ayat, mereka kembali kepada Rasulullah SAW lalu beliau menjelaskan kepada mereka.
Setelah Rasulullah SAW wafat, para fuqaha dari kalangan sahabat mengendalikan umat di bawah kepemimpinan Khulafa al Rasyidin. Jika terdapat persoalan-persoalan baru yang belum pernah terjadi sebelumnya, maka Al-Qur’an merupakan tempat kembali mereka dalam mengistinbathkan hukum-hukum syara’nya. Mereka pun sepakat atas hal tersebut.jarang sekali mereka berselisih pendapat ketika terdapat kontradiksi dalam memahami suatu lafazh, seperti perselisihan mereka mengenai ‘iddah bagi wanita hamil yang ditinggal mati suaminya; apakah ‘iddah itu berakhir dengan melahirkan atau empat bulan sepuluh hari ataukah dengan waktu paling lama diantara keduanya? ini semua mengingat kepada berfirman Allah:

Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber`iddah) empat bulan sepuluh hari. Q.S Al Baqarah,2: 234
“Dan prempuan-perempuan yang hamil, masa ‘iddah mereka ialah sampai mereka melahirkan kandungan mereka.”(Ath-Thalaq,65:4)
Keadaan seperti ini, sekalipun jarang terjadi, tetapi pada hakikatnya merupakan awal dari suatu perbedaan pendapat di bidang fiqih dalam memahami ayat-ayat hukum. Ketika tiba masa empat imam fikih dengan kaidah-kaidah istinbath hukum masing-masing, ditambah lagi berbagai peristiwa dengan membawa persoalan barunya yang banyak dan belum pernah terjadi sebelumnya, maka semakin bertambah pula sisi-sisi perbedaan pendapaat dalam memahami ayat ayat hukum ini. Hal ini di sebabkan perbedaan segi dalalahnya, yang setiap ahli fikih tentu berpegang pada apa yang dipandangnya benar, tetapi bukan karena fanatisme terhadap suatu madzhab tertentu. Karena itu ia tidak memandang dirinya hina jika ia mengetahui kebenaran pada pihak lain untuk merujuk kepadanya.
Keadaan tetap berjalan demikian, sampai datanglah masa taklid ( periode muqallidin ) dan fanatisme madzhab. Pada periode ini aktivitas ijtihad mulai ditinggalkan mereka hanya menjadi para pengikut imam mujtahid yang sudah ada. Aktivitas mereka hanya terfokus pada penjelasan dan pembelaaan terhadap madzhab mereka. Meskipun untuk itu mereka harus membawa ayat-ayat Al -Qur’an kepada maknanya yang lemah ( dhoif ) dan jauh dari makna yang rajih. Akibatnya, muncullah tafsir fikih yang khusus membahas ayat-ayat hukum dalam Al-Qu’an. Di dalamnya fanatisme madzhab terkadang menjadi memanas dan kadang mereda.
Tafsir Ilmi
Ada beberapa pendapat dalam memberikan pengertian, hal ini sangat dipengaruhi subjektif pribadi dari pemberi pengertian. Seperti:
Prof. Amin al-khuli mendefenisikan tafsir ilmi adalah tafsir yang memaksakan istilah-istilah keilmuan kontemporer atas redaksi al-Qur’an dan berusaha menyimpulkan berbagai ilmu dan pandangan-pandangan filosofis dari redaksi al-Qur’an. Sedangkan Dr. ’Abdul Majid ’Abdul Muhtasib berpendapat tafsir ilmi merupakan tafsir yang memberikan redaksi al-Qur’an ke bawah teori dan istilah-istilah sain keilmuan dengan mengarahkan segala daya untuk menyimpulkan berbagai masalah keilmuan dan pandangan filosof dari redaksi al-Qur’an.
Dari kedua defenisi diatas nampaknya tidak jauh beda, seolah-olah mendeskreditkan ayat-ayat al-Qur’an , dan adanya penyesuai antara al-Qur’an dengan ilmu penetahuan atau dapat dikatakan bahwa al-Qur’an mengikuti ilmu pengetahuan atau ilmu pengetahuan menjadi pedoman dalam al-qur’an.
Maka oleh karena itu adapun yang sebenarnya bahwa tafsir ilmi adalah tafsir yang berbicara tentang istilah-istilah sains yang terdapat dalam al-Qur’an dan berusaha sungguh-sungguh untuk menyimpulkan berbagai ilmu dan pandangan filosofis dari istilah-istilah Al-Qur’an. Jadi tafsir ini dapat memahami redaksi-redaksi al-Qur’an dalam sinaran kepastian oleh sains modern serta menyingkap kemukjizatannya dari sisi bahwa al-Qur’an telah membuat informasi-informasi sains yang amat dalam dan belum dikenal oleh manusia pada masa turunnya al-qur’an sehingga ini menunjukkan bukti lain akan kebenaran fakta bahwa al-Qur’an itu bukan karangan manusia, namun ia bersumber dari Allah SWT, pencipta dan pemilik alam semesta ini.
Timbulnya tafsir ilmi adalah salah satu bentuk keragaman ilmu pengetahuan. Fokus tafsir ilmi adalah menafsirkan ayat-ayat yang Kauniah dengan bertolak dari proposisi pokok-pokok bahasan ayat-ayat al-Qur’an dari kapasistas keilmuan yang mufassir miliki dan penafsiran dilakukan dengan pengamatan langsung terhadap fenomena-fenomena alam. Adapun contoh dari penafsiran dengan metode tafsir ilmi terdapat ayat al-qur’an surah Ar-Rahman : 19-21, Allah SWT berfirman
 Artinya: Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya Kemudian bertemu, antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui masing-masing , maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan. (Q.S:55: 19-21)
Dari ayat diatas dapat di buktikan dan ditemukan melalui sains bahwa di dasar laut merah terdapat sumber mata air tawar yang mengalir terus dan tidak tercampur oleh air laut yang disekitarnya asin.
Dengan demikian salah satu pembuktian yang dilakukan oleh sain terhadap ayat-ayat yang kauniah memang benar adanya, dan dengan sains tersebut membuktikan bahwa kemukjizatan ilmiah dari al-Qur’an. Al-Qur’an juga memberikan isyarat terhadap hukum-hukum alam dan fenomena kehidupan dengan gambaran yang sanga meyakinka, dan tidak mungkin bertentangan dengan penemuan manusia dalam berbgai fase dan tingkatannya.
Penafsiran dengan metode ini tidak terlepas dari berbagai tanggapan, ada yang menerima dan ada pula yang menentang. Sikap para ulama kontemporer terhadap tafsit Ilmi terbagi dalam dua macam, yaitu kelompok yang menolak dan menerima. Ulama yang menolak berpendapat bahwa mengaitkan al-Qur’an dengan teori-teori ilmiah merupakan tindakan yang keliru. Alasannya, Allah SWT menurunkan al-Qur’an bukan untuk menjelaskan teori-teori ilmiah, terminologi-terminologi disiplin ilmu, dan macam –macam pengetahuan. Mengaitkan al-Qur’an dengan teori-teori ilmiah hanya akan mendorong para pendukungnya untuk menakwilkan al-Qur’an agar sesuai dengan teori-teori ilmiah. Seandainya al-qur’an dikaitkan dengan temuan-temuan ilmiah, dikahwatirkan justrus al-Qur’an yang disesuaikan dengan temuan-temuan ilmiah, bukan sebaliknya.
7. Tafsir Adabi
Tafsir yang menitik beratkan penjelasan ayat-ayat al-Qur`an dari segi ketelitian redaksi, kemudian menyusun kandungan ayat tersebut dengan penonjolan tujuan utama dari tujuan al-Qur`an yaitu petunjuk dalam kehidupan dan mengadakan penjelasan ayat dengan hukum yang berlaku. Menurut M. Quraish shihab unsur pokok tafsir adabi adalah:
a). Menguraikan ketelitian redaksi ayat-ayat al-Qur`an
b). Mengurikan makna dan kandungan ayat-ayat al-Qur`an dengan susunan kalimat yang indah
c). Aksentuasi yang menonjol pada tujuan utama diuraikan al-Qur`an
d). Penafsiran ayat dikaitkan dengan sunatullah yang berlaku dalam masyarakat.
Contoh:
a). Tafsir al-Manar karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridla
b). Tafsir al-Qur`an olerh syeikh Ahmad Musthafa al-Maraghi
c). Tafsir al-Qur`an al-karim karya Mahmud Syaltut dan
d). Tafsir al-Wadlih karya Muhammad Mahmud Hijazy
 Kelebihan dari tafsir adabi adalah;
1). Membumikan al-Qur`an dalam kehidupan
2). Menjadikan ajran al-Qur`an praktis dan pragmatis
3). Mendorong semangat obyektifitas dan rasa persatuan
4). Membangkitkan dinamika umat Islam untuk membangun dunia yang lebih cerah
C. KELEBIHAN DAN KEKURANGAN METODE TAHLILI
1. KELEBIHAN
a. Ruang Lingkup Yang Luas
Metode analitis mempunyai ruang lingkup yang teramat luas. Metode ini dapat digunakan oleh mufasir dalam dua bentuknya : ma’tsur dan ra’yi. Bentuk al-ra’yi dapat lagi dikembangkan dalam berbagai corak penafsiran sesuai dengan keahlian masing-masing mufasir. Ahli bahasa, misalnya mendapat peluang yang luas untuk menafsirkan Al-Qur’an dari pemahaman kebahasaan, menjadikan qiraat sebagai titik tolak dalam penafsirannya. Demikian pula ahli filsafat, kitab tafsirnya di dominasi oleh pemikiran-pemikiran filosofis. Dengan demikian metode ini dapat menampung berbagai ide dan gagasan dalam upaya menafsirkan Al-Qur’an.
b. Memuat Berbagai Ide
Pola penafsiran metode ini dapat menampung berbagai ide yang terpendam di dalam benak mufasir, bahkan sampai ide-ide jahat dan ekstrim pun dapat ditampungnya.
2. Kekurangan
a. Menjadikan Petunjuk Al-Qur’an Parsial atau Terpecah-Pecah Al-Qur’an yang ditafsirkan seakan-akan tidak konsisten, padahal yang tidak konsisten itu
Penafsirannya, bukan Al-Qur’annya. Ini terjadi kemungkinan besar dikarenakan mufasir kurang memperhatikan ayat-ayat lain yang mirip atau sama dengannya. Karena dalam metode ini tidak diharuskan bagi mufasir untuk membandingkan penafsiran suatu ayat dengan ayat yang lain sebagaimana yang diutamakan dalam metode komparatif.
b. Melahirkan Penafsiran Subjektif
 Mufasir yang telah diberikan kebebasan dalam menyampaikan ide-ide dan pemikirannya, secara tidak sadar bahwa ia telah menafsirkan secara subjektif, bahkan menafsirkan sesuai dengan hawa nafsunya tanpa mengindahkan kaidah-kaidah yang berlaku. Sikap subjektif itu muncul berawal dari fanatisme mazhab yang terlalu mendalam. Karena yang terpenting dari mereka adalah mencari legitimasi kepada Al-Qur’an untuk membenarkan pemikiran dan tindakan, serta sekaligus untuk meyakinkan para pengikut mereka bahwa ajaran yang mereka kembangkan adalah benar.
c. Masuk pemikiran israiliat
Sebenarnya kisah-kisah israiliat tidak ada persoalan, selama tidak dikaitkan dengan Al-Qur’an. Tetapi bila dihubungkan dengan dengan pemahaman kitab suci, timbul problema karena akan terbentuk opini bahwa apa yang dikisahkan di dalam cerita itu lagi, itu adalah petunjuk Allah SWT, padahal belum tentu cocok dengan yang dimaksudkan Allah SWT di dalam firman-Nya tersebut. Kisah tersebut bisa masuk ke dalam tafsir tahlili kerena metodenya memang membuka pintu untuk itu.
D. KESIMPULAN
Keberadaan metode ini telah memberikan sumbangan yang sangat besar dalam melaestarikan dan mengembangkan khazanah intelektual Islam, khususnya dalam bidang tafsir Al-Qur’an. Jika menginginkan pemahaman yang luas dari suatu ayat dengan melihatnya dari berbagai aspek, maka tiada jalan lain kecuali menempuh atau menggunakan metode analitis. Di sinilah terletak salah satu urgensi pokok bagi metode ini bila dibandingkan dengan metode lainnya.
Bahwa ruang lingkup dari penafsiran dengan metode tahlili terdiri dari tujuh pendekatan yaitu, tafsir dengan pendekatan bi al-matsur, pendektan bi al-ra’yi, pendekatan dengan metode shufi, pendekatan dengan metode falsafi, pendekatan dengan metode fiqhi, pendekatan dengan metode ilmi dan pendekatan dengan metode adabi. Dari ketujuh pendekatan tersebut, seorang mufasirin membuktikan suatu upaya yang sungguh-sungguh dalam menelaah setiap ayat al-Qur’an sesuai dengan kapasitas kemampuan dan tujuan dari suatu fungsi penelaahan yang dituju.
Tidak ada kata lain bahwa tafsir tahlili akan dapat diterima apabila dalam melaksanakan penafsiran, mufasir harus memenuhi criteria-kriteria yang telah ditentukan senbagai syarat dari seorang mufassir.
Tentunya setiap penafsiran pasti mempunyai kekurang dan kelebihan, maka dari pada itu menyeleksi dan mengkaji ulang setiap usaha yang dilakukan oleh seorang mufasir dalam memahami ayat –ayat al-Qur’an merupakan suatu keharusan dalam sebuah proses pengetahuan dan pengkajian Ilmu Pengetahuan.
DAFTAR PUSTAKA
Faudah, Mahmud Basuni. (1987) Tafsir-tafsir Al-quran Perkenalan dengan Metode Tafsir. Penerbit Pustaka. Bandung
Nasution Harun. (1999) Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Bulan Bintang, Jakarta.
Solihn, M. (2003). Tasawuf Tematik Membedah Tema-tema Penting Tasawuf.
Pustaka Setia. Bandung
Al-Taftazani, Abu Al-Wafa Al-Ghanami, (1997) Sufi dari Zaman ke Zaman. Penerbit Pustaka. Bandung.
Abdul Hayy Al-Farmawi. (2002) Metode Tafsir Maudhu’i Dan Cara Penerapannya, cet. 2. Pustaka Setia. Bandung
Nasruddin Baidan (1998). Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, cet. 1. Pustaka Pelajar. Yogyakarta
T. M. Hasby Ash Shiddieqy. (1990). Sejarah Dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an Dan Tafsir, cet. 13. Bulan Bintang. Jakarta
Ahmad As-Sayyid Al-Kumi, At-Tafsir Al-Maudhu’I
Abdul Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i Dan Cara Perepannya, CV. Pustaka Setia : Bandung, cet.2.

[1]DR. Ahmad As-Sayyid Al-Kumi, At-Tafsir Al-Maudhu’I, hlm. 5
[2]. DR. Muhammad Husein Adz-Dzhabi, At-Tafsir wa Al-Mufassirun, jilid I, hlm. 125
[3]. DR. Abdul Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i Dan Cara Perepannya, (CV. Pustaka Setia : Bandung), cet.2., hlm. 24.
[4] . Ibid, hlm 154
[5] . Op.cit, hlm 26
[6] . diakses melalaui internet melalui situs www.id.wikipedia.org yang ditulis diambil dari buku DR. Ahmad Kamal Al-Mahdi, Ayat Al-Qasam fi Al-Qur’an, hlm. 4
[7] . Manna khalil al-Qattan, Mubahis fi ulum al-Qur’an, trj, Madzakir AS, Litera Antar Nusa, Jakarta, 2004, hlm. 465
[8] Mahmud Basuni Maudah, Tafsir-Tafsir al-Qur’an Perkenalan Dengan Metode Tafsir, Pustaka, Bandung 1987
[9]. Dr.Roshian Anwar, M.Ag, Ilmu Tafsir, Pustaka Setia, Bandung, 2005 hlm.167
10. Izzah, Makalah Panduan Mata Kuliah, Jurusan tafsir hadits, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, tanpa halaman